Halaman

Senin, 02 April 2012

Makna Tato Bagi Masyarakat Dayak

Makna Tato Bagi Masyarakat DayakSuku Dayak merupakan salah satu suku di Indonesia yang paling terkenal,  motif dan ukiran-ukiran suku dayak merupakan salah satu daya tarik wisatawan asing maupun lokal. Keramahan, kecantikan gadis dayak serta keindahan alam suku dayak memang patut diacungi jempol. Kali ini 1000 Unik akan berbagi pengetahun dengan anda tentang Makna Tato Bagi Masyarakat Dayak. Seperti apa sih motif tato suku dayak dan apa maknanya ? Mau tau tentang Makna Tato Bagi Masyarakat Dayak ? simak artikel berikut ini gan tentang Makna Tato Bagi Masyarakat Dayak :


Panglima Perang (Panglima Damai) Dayak, Edy Barau, mengatakan, motif yang digunakan masyarakat Dayak, khususnya Dayak Iban untuk mengukir pada tubuh berhubungan erat dengan kehidupan alam (hutan).

Dengan demikian, motifnya ada yang berasal dari binatang maupun tumbuhan seperti daun, bunga, dan buah yang semua memiliki arti dan makna bagi masyarakat Dayak.

Menurut Edy, ada tujuh bentuk motif tato yang berhubungan erat dan sering digunakan masyarakat Dayak Iban. Selain motif, tempat atau lokasi untuk diukirkan gambar juga tidak bisa sembarangan.

Ketujuh bentuk motif itu di antaranya, motif rekong, bunga terong, ketam, kelingai, buah andu, bunga ngkabang (tengkawang) dan bunga terung keliling pinggang yang masing-masing memiliki makna.

Ia memaparkan, tato atau ukir rekong biasanya diukirkan di leher. Bagi masyarakat Dayak Iban seseorang yang mendapatkan ukiran rekong adalah orang yang mempunyai kedudukan masyarakatnya, seperti Timanggong/Temanggung dan Panglima atau orang yang di-tua-kan di kampung halamannya sendiri maupun di tempat merantau.

Motif Rekong, lanjut Edy, berbeda-beda bentuknya karena disesuaikan dengan jabatan dan kedudukan. Selain itu, antara sub suku Dayak yang satu dengan yang lainnya juga memiliki bentuk motif yang berbeda tapi memiliki makna yang sama.

Motif rekong dapat berupa sayap kupu-kupu, kalajengking merayap dan kepiting. Intinya cenderung berbebtuk motif binatang.

Masyarakat Dayak yang biasanya tato rekong di leher adalah Dayak Kayan, Dayak Taman, dan Dayak Iban. Sementara masyarakat Dayak biasa yang tato rekong di leher akan dikenakan sanksi atau hukuman adat, namun untuk sekarang ini tidak lagi karena ada sebagian memandangnya sebagai seni, ucapnya.

Motif lainnya adalah Bunga terong merupakan bunga kebanggaan masyarakat Dayak Iban. "Bunga terong sudah naik, orang itu sudah profesional, kalimat itu sering diucapkan masyarakat Iban. Karena terong itu kebanggaan masyarakat Iban. Terong juga memberi makna pangkat/kedudukan sebab umumnya letak pertama ada di bahu," tuturnya kepada Tribun.

Bentuk motif dan jenis bunga terong ada berbagai macam dan letaknya juga berbeda. Ada yang tato terong dan meletakannya di lengan, tangan, kaki, dan perut, serta ada juga mengukir seluruh tubuhnya dengan bunga terong.

Bunga terong ada yang bersayap enam, dan ada yang delapan. " Seorang masyarakat Dayak Iban yang memiliki bunga terong keliling pinggang biasanya delapan buah berarti orang itu sudah plor atau penuh atau sudah puas merantau," ujarnya.

Sementara motif kelingai melambangkan binatang yang ada di lubang tanah memberikan arti hidup kita tidak terlepas dengan alam atau bumi. Motif kelingai biasanya diletakan di paha atau betis.

Demikian motif ketam juga memberikan arti hidup selalu menyentuh dengan alam. Meski begitu, ketam biasanya diletakan pada tubuh bagian punggung atau tepatnya dibelakang punggung.

Sedangkan motif buah andu dan bunga ngkabang atau bunga tengkawang melambangkan sumber kehidupan. Buah tengkawang merupakan bunga yang paling banyak di kampung masyarakat Iban dan ditatokan di atas perut.

Motif buah andu pada umumnya diukirkan di belakang paha, yang memberi arti, ketika merantau kita selalu berjalan jauh dan buah andu sebagai makanan untuk menyambung hidup, pungkasnya.


Sumber:Tribunnews

Adat Mangkok Merah dan Pamabakng

 
 
 
 
 
 
i
6 Votes
Quantcast





“Adat Mangkok Merah dan Pamabakng” adalah sebuah judul yang sengaja diangkat dari permukaan, karena adat mangkok merah dan pamabakng telah di kenal oleh masyarakat luas diluar etnis Dayak terutama dalam gerakan meyeluruh masayarakat Dayak takala penumpasan gerakan Paraku G-30-S PKI di Kalimantan Barat pada tahun 1967. Demikian pula adat Pamabakng yang cukup dikenal karena telah beberapa kali diberlakukan terutama dalam upaya perdamayan akibat kerusuhan etnis yang terjadi di Kalimantan Barat dan tragedy berdarah di markas Armet Nagabang beberapa tahun yang lalu. Walupun Adat ini sudah cukup dikenal dikalangan masyarakat luas, namun adat ini perlu diangkat dalam suatu tulisan demi untuk persamaan presepsi tentang adat itu karena selama ini mungkin terdapat perbedaan presepsi dikalangan masayarakat luas bahkan dikalangan masayarakat Dayak sendiri.
Kedua jenis adat ini mempunyai keunikan tersendiri ibarat dua sisi yang bersebaranagan namaun mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Mangkok Merah adalah adat yang bersifat sakral dan memaksa untuk mengarahkan masa demi tujuan tertentu sementara pamabakng adalah adat yang bersipat sakral yang harus dipatuhi dalam upaya perdamaian akibat adanya suatu komplik berdarah.
Dengan demikian selain bersebrangan dan mempunyai keterkaitan yang sangat erat, kedua adat ini fungsinya seolah-olah bertentangan. Terlepas dari pendapat pro dan kontra secara esensi adat ini perlu dipertahankan dan di lesatarikan, namun apakah ia masih tetap dipertahankan dan dilestarikan, namun apakah ia masih tetap ditaati dan di patuhi terutama di era globalisasi yang serba moderen ini.
ADAT MANGKOK MERAH
Berdasarkan jenis alat peraganya, pada mulanya adat ini bernama mangkok jaranang. Jaranang adalah sejenis tanaman akar yang mempunyai getah berwrana merah. Getah akar jaranang ini di pergunakan sebagai penganti warna cat merah karena pada waktu itu orang belum mengenal cat. Akar jaranang yang berwarna merah ini dioleskan pada dasar mangkuk bagian dalam.
Oleh karena itu ia disebut mangkok merah. Pada jaman dahulu apabila dalam suatu kasus pihak pelaku tidak bersedia di selesaikan secara adat maka pihak ahli waris korban yang merasa dihina dan dilecehkan kehormatan, harkat dan martabatnya atas kesepakatan dan musyawarah ahli waris segera melakukan aksi belas dendam melalui pengerah masa secara adat yang disebut adat mangkok merah. Kasus tersebut biasanya mangkuk menyangkut kasus parakng- bunuh ataupun kasus pelecehan seksual dan lain sebagainya yang sifatnya mengarah kepada pelecehan dan penghinaan terhadap ahli waris.
Alat Peraga dan Maknanya
Alat paraga mangkok merah terdiri dari :
• Sebuah mangkuk sebagi tempat/sarana untuk meletakkan alat paraga lainnya.
• Dasar mangkuk bagian dalam dioles dengan getah jaranang berwarna merah yang mengandung pengertian “ Pertumpahan darah “.
• Bulu/sayap ayam yang mengandung pengertian “ Cepat “, segera, kilat, seperti terbang”.
• Tabur atap daun ( ujung atap yang terbuat dari daun rumbia) mengandung pengertian bahwa yang membawa berita itu tidak boleh terhambat oleh hujan karena ada terinak ( payung ).
• Longkot api ( bara kayu api baker yang sudah di pakai untuk memasak di dapur ) yang mempunyai pengertian bahwa yang membawa berita tidak boleh terhambat oleh petang/gelap malam hari, karena sudah disedikan penerangan api colok dsb.
Alat para mangkok merah dikemas dalam mangkok yang telah diberi warna merah jaranang kemudian di bungkus dengan kain. Beberapa orang yang di tunjuk utnuk menyampaikan berita sekaligus mengajak seluruh jajaran ahli waris itu sebelumnya di berikan arahan mengenai maksud dan tujuan mangkok merah itu, siapa saja yang harus ditemui, kapan berkumpul, tempat berkumpul dan lain sebagainya. Tentu saja mereka yang membawa berita mangkok merah tersebut tidak boleh menginap bahkan singah terlalu lamapun tidak boleh. Walau hujan lebat dan petang gelap sekalipun mereka harus meneruskan perjalanannya.
Seperti yang diuraikan dalam pendahuluan, bahwa yang melatar belakangi terjadinya adat mangkok merah itu karena akibat adanya suatu yang tidak mau diselasaikan secara adat oleh pelakunya sehingga dianggap telah menghina dan melecahkan harkat dan martabat ahli waris korban. Damai kehormatan,harakat dan maratabat ahli waris sehingga mereka mengadakan upaya pembalasan dengan mengumpulkan ahli waris melalui adat mangkok merah. Misalnya seorang yang mati terbunuh apabila dalam waktu 24 jam tidak ada tanda-tanda upaya penyelesaian secara adat maka pihak ahli waris korban segera menyikapinya dengan suatu upaya pembelasan, karena perbuatan sipelaku di anggap telah menentang pihak ahli waris korban dan ia pantas dihajar sebagai binatang karena tidak beradat. Selanjutnya digelarlah adat mangkok mereah seperti yang telah di jelaskan di atas.
Sebagai mana di jelaskan di atas bahwa gerakan mangkok merah muncul untuk membela kehormatan, harkat dan martabat ahli waris yang telah dihina dan dilecehkan. Dengan demikian tentu saja gerakan ini menjadi tangung jawab ahli waris. Menurut masyarakat adat Dayak Kanayatn susunan/turunan page waris samdiatn itu dapat digambarkan menurut garis lurus yaitu :
1. Saudara Sekandung ( tatak pusat ) disebut samadiatn.
2. Sepupu satu kali ( sakadiritan ) di sebut kamar kapala.
3. Sepupu dua kali ( dua madi’ ene’ ) di sebut waris.
4. Sepupu tiga kali ( dua madi’ ene’ saket ) di sebut waris.
5. Sepupu empat kali ( saket ) di sebut waris.
6. Sepupu lima kali ( duduk dantar ) di sebut waris.
7. Sepupu enam kali ( dantar ) di sebut waris.
8. Sepupu tujuh kali ( dantar page ) di sebut waris.
9. Sepupu delepan kali ( page ) masih tergolong waris.
10. Sepupu sembilan kali, dah baurangan tidak tergolong waris.
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa yang mulai disebut waris adalah pada turunan sepupu tiga kali atau dua madi’ene’, sehinga mereka yang termasuk dalam turunan ini di anggap sebagai kepala waris atau waris kuat. Merekalah yang berhak memimpin gerakan ini sifatnya mangkok mereah.
Sebagai mana telah di jelaskan dalam pendahuluan maka sifat-sifat yang terkandung didalam adat mengkok merah tersebut adalah :
1. Seluruh acara pelaksanaan adat mangkok merah dari mulai bermusyawarah/mufakat hinga pemberangkatan bala, sarat prilaku-prilaku mistik relegius, oleh karena itu adat bersifat sakral.
2. Pihak ahli waris yang dituju atau yang menerima berita mengkok merah demi menjunjung tinggi harkat dan martabat serta kehormatan ahli waris mereka harus ikut. Apabila mereka tidak ikut, mereka dapat dicap sebagai pengecut dan tidak menaruh rasa malu. Dengan demikaian mereka terpaksa harus ikut. Jadi dalam adat mangkok merah terdapat sifat mengikat atau memaksa.
Menelusuri proses pelaksanaan adat mangkok mereah, ternyata bahwa pelkasanan dan penangung jawab adat mengkok merah adalah selauruh jajaran ahli waris korban di pimpin oleh ahli waris dua madi’ ene’ sebagai kepala waris. Sedangkan sasarannya adalah pihak pelaku yang tidak bersedia membayar hukuman adat senhinga di anggap telah melecahkan dan menghina pihak ahli waris korban. Apabila bala telah bernagkat menuju sasaran hampir tidak ada alternatif lain untuk pencegahan, kecuali dengan upaya adat dimana pihak pelaku harus memasang adat pamabang.
ADAT PAMABAKNG
Sebagai mana telah diuraikan diatas bahwa adat mangkok merah dan adat pamabang ibarat dua sisi yang berseberangan dan mengandung makna yang bertentangan namun keduanya mempunyai keterikatan yang sangat erat. Telah diuraikan pula pelaksanaan adat mangkok merah mempunyai dampak yang sangat negatif, akan tetapi sebagai alat ia sangat tergantung kepada pemakaiyannya. Dengan demikian ia dapat pula berdampak positif, misalnya penggunaan adat mangkok merah pada saat pemumpasan paraku G-30-S PKI di Kalimantan Barat pada tahun 1967.
Alat Peraga
Sementara itu adat pamabankng mempunyai dampat yang sangat positip mengupayakan penyelasaian komplik sejarah damai. Bala yang akan menyerag setelah mengadakan pengerahan masa melalaui adat mangkok merah. Harus cepat di antisipasi oleh pengurus adat , dalam hal ini temenggung dibantu oleh pasirah dan pangaraga. Mereka harus segera memeberi tahu sekaligus memerintahkan kepada ahli waris di bantu oleh msayarkat kampung untuk memasang adat pamabakng, dengan alat paraganya sebagai berikut :
- 1 buah tempayan jampa diletakkan di atas jarungkakng banbu kuning ditutup pahar dengan posisi telungkup.
- Kemudian ada pelantar di taruh di atas talam lengkap dengan topokng ( tempat sirih ) dan beras beserta alat-alat palantar lainnya lengkap dengan ayam 1 ekor sedapatnya berwarna putih, tidak berwarna merah.
- 1 buah bendera berwarana putih yang dipasang di dekat tampayan jampa.
- Kemudian di dekat tempayan jampa harus ada papangokng ( penggung kecil dari kayu ) untuk meletakkan palantar.
- Disekitar pamabang terhampar bide untuk tempat duduk dan bermusyawarah dengan bala yang akan datang.
- Tempayan jamba melambangkan tubuh korban jika terjadi pada kasus pembunauhan, dan sebagai tanda pengakuan adat bagi pelaku.
- Ayam putih dan bendera putih sebagai simbol perdamaian.
- Beras banyu sebagai simbol perampunan sekaligus untuk menenangkan hati yang sedang dilanda emosi.
- Topokng tempat sirih dipergunakan untuk menyapa bala yang datang.
Pamabankng harus ditunggu oleh temenggung dan jika temenggung tidak ada/berhalangan, pamabakng di tunggu oleh pasirah atau oleh tua-tua adat yang dianggap mengerti tentang adat. Selain mengerti tentang adat orang yang menunggu pemabankng haruslah orang yang bijaksana dan biasanya pula harus orang yang punya ilmu dalam mengatasi kasus seperti itu misalnya mantra dan jampi-jampi yang di sebut sanga bunuh, bungkam, kata gampang, pelembut hati seperti pangasih dan lain-lain masksudnya agar saran serta naseihat dsb. Dapat dipakai oleh pihak bala yang sedang emosi.
Apa bila keadaan yang sangat gawat dan rawan, pamabankng dapat di pasang lebih dari satu yaitu dipersimpangan jalan masuk dan di ujung pante ( pelataran ). Maksudnya adalah apabila pamabakng yang satu tetap dilangar, masih adalagi pamabnag lain yang terakhir. Pamabakng yang terakhir ini merupakan pertahanan terakhir sehinga apabila pamabang terakhir inipun di langar maka tidak ada alternatif lain selain harus mengadakan perlawanan dan perang kelompok ahli warispun tidak dapat terelakan. Perbuatan ini dapat menyebabkan ririkngnya adat raga nyawa, artinya adat raganyawa tidak dibayar. Namun sepanjang sejarah perjalanan adat hal seperti ini tidak pernah terjadi. Pada saat bala tiba di tempat pamabang, segera penunggu pamabakng menyapanya dengan topokng sekaligus di persilakan duduk. Ia mulai membentakangkan arti dan makana pamabakng bahwa pihak pelaku mengaku bersalah dan bersedia menyelasaikannya secara hukum adat. Biasanya setelah mendengar penjelasan itu pihak bala melampisan emosinya dengan menikamkan senjatnya ketanah di sertai dengan tangisan karena hatinya kesal tidak mendapat perlawanan.
Maka yang paling penting dari adat pamabakng ini adalah :
1. Jika pamabakng tidak di pasang, dapat diartikan :
a. Bahwa pihak pelaku menetang pihak ahli waris korban untuk berkelahi atau perang antar kelompok ahli waris.
b. Pihak pelaku tidak mau sama sekalai membayar adat.
c. Pengurus adat seolah-olah membiarkan dan malahan menghasut kedua belah pihak untuk saling menyerang.
2. Jika pamabakng sudah terpasang dapat di artikan :
a. Kasus tersebut sudah di tangan pengurus adat
b. Pihak pelaku sudah mengakui kesalahannya dan besedia membayar hukuman adat.
Adat pamabakng adalah adat bahoatn artinya hanya untuk dipajang bukan untuk di bayarkan. Setelah bala datang mereka harus di bore baras banyu dan selanjutnya dilakukan persembanhan kepada jubata. Pamabakng teteap terpasang selama adat belum diselesaikan dan paling lama selama 3 hari.
Sumber: http://yohanessupriyadi.blogspot.com/





MANDAU SENJATA KHAS SUKU DAYAK
 
 Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang dianggap keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu burung atau rambut manusia. Mandau mempunyai nama asli yang disebut “Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau”, merupakan barang yang mempunyai nilai religius, karena dirawat dengan baik oleh pemiliknya.
Batu-batuan yang sering dipakai sebagai bahan dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu Montalat.Mandau adalah senjata tajam sejenis parang berasal dari kebudayaan Dayak di Kalimantan. Mandau termasuk salah satu senjata tradisional Indonesia. Berbeda dengan parang, mandau memiliki ukiran – ukiran di bagian bilahnya yang tidak tajam. Sering juga dijumpai tambahan lubang-lubang di bilahnya yang ditutup dengan kuningan atau tembaga dengan maksud memperindah bilah mandau.



SIPET (SUMPIT)
Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 – 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter lubang ¼ – ¾ cm yang digunakan untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat anak sumpitan.


 Talawang (Prisai)



Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 – 2 meter dengan lebar 30 – 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan.




SEJARAH TAMBUN BUNGAI

oleh KOMUNITAS MANDAU TALAWANG DAYAK BORNEO pada 11 Maret 2012 pukul 4:47 ·
Tambun Bungai adalah nama dwitunggal pahlawan yang sangat terkenal dalam sejarah purbakala suku Dayak Kalimantan. Yaitu si Tambun dan Bungai.

Sejarah purbakala ditanah Dayak yang bernama "TETEK TATUM" (ratap tangis sejati) selalu menuturkan cerita kepahlawanan Tambun dan Bungai itu.

Pada jaman dahulu kala ada 3 orang pahlawan pedalaman Kalimantan, masing2 bernama LAMBUNG atau MAHARAJA BUNU, LANTING atau MAHARAJA SANGEN, dan KARANGKANG AMBAN PENYANG atau MAHARAJA SANGIANG. Mereka itu ketiganya tinggal mendiami lembah sungai Kahayan ditengah2 pulau Kalimantan. Hidup mereka dari memungut hasil hutan dan bertani.

Adapun si Lambung alias Maharaja Bunu mempunyai 5 orang anak. Dua diantaranya bernama Tumenggung Sampung dan Tumenggung Saropoi.

Tumenggung Sampung yang kawin dengan Nyai Endas, kemudian melahirkan 8 orang anak. Seorang diantara anak2nya itu terkenal gagah berani, yaitu si Bungai. Begitupun juga saudara ayahnya Bungai, Tumenggung Saropoi melahirkan pula satu diantara anak2nya yang bernama si Tambun.

Sejak mas kanak2nya si Bungai memiliki paras tampan. Tetapi ia juga bersifat berani dan tak mudah berputus asa. Keras kemauan dan besar cita2nya. Banyak tingkah laku anak ini yang berlainan dari anak2 biasa.

Oleh karena serba keganjilan itulah maka ibu bapaknya mempunyai kepercayaan bahwa didalam tubuh si Bungai yang kecil itu pasti ada tersimpan kekuatan gaib dari dewa2. Maka untuk menguji benar tidaknya kepercayaan itu, pernah kanak2 si Bungai ini digantung ayahnya dipuncak kayu yang tinggi didalam sebuah rimba belantara selama 7 hari 7 malam. Juga ia dibuaikan disebuah teluk yang dalam airnya selama 7 hari 7 malam pula. Tidak diberi makan minum sedikitpun. Namun si Bungai kecil tetap segar bugar.

Adapun saudara sepupunya yang bernama si Tambun, juga demikian. Kedua anak ini hidup laksana kembar yang tak mau dipisah2kan.

Jika berkelahi seorang, mereka berkelahi keduanya. Jika bersedih hati si Bungai, juga si Tambun ikut berdukacita. Dalam suka duka masa kanak2annya, mereka menemui banyak keanehan dan keganjilan.

Mereka memiliki sifat watak yang cerdas, lemah lembut, peramah, suka menolong sesama, sedikit memerima banyak memberi, cepat kaki ringan tangan, bijaksana, tetapi pantang menyerah untuk membela kebenaran.

Keduanya seperti satu jiwa dalam dua badan, yang memiliki sifat2 kepemimpinan.

Karena itulah ia disayangi dan disegani oleh penduduk daerahnya. Sesuai benar deng peribahasa Dayak yang berbunyi "BAKENA MAMUT MENTENG" (tampan, sopan santun dan gagah perkasa).

PERJUANGANNYA

Dalam beberapa kali peperangan melawan musuh dari suku lain yang ingin menguasai daerah mereka, si Tambun dan si Bungai selalu mendapatkan kemenangan. Mereka menang oleh karena selalu mambela kebenaran dan keadilan.

Seorang kakaknya Bungai yang menjadi raja di Pematang Sawang, Pulau Kupang, bernama Nyai Undang, pada suatu hari diserang oleh musuh dari suku lain. Sebanyak 1000 orang tentara mengepung dari jurusan utara dan selatan, lengkap dengan persenjataan dan perbekalan. Kedudukan Nyai Undang terancam bahaya.

Akan tetapi dengan suatu kerjasama yang erat, berkat keberanian dan keperkasaannya pahlawan2 Tambun dan Bungai, maka serangan musuh yang besar itu dapat dilawan dan dipatahkan oleh mereka. Dengan demikian, seluruh pasukan musuh dapat dihalaukan dari wilayah Pematang Sawang Pulau Kupang, dan negeripun amanlah sudah. Nyai Undang sangat berterima kasih kepada adik dan sepupunya itu.

Maka sejak itulah masing2 mendapat gelar "Tumenggung Tambun Terjung Ringkin Duhung" dan "Tumenggung Bungai Andin Sindai".

Adapun yang disebutkan daerah Pematang Sawang Pulau Kupang itu ialah kota "BATAGUH", letaknya tidak jauh dari Kuala Kapuas, ibukota kabupaten Kapuas sekarang.

SAATNYA YANG AKHIR

Setelah dwitunggal Tambun-Bungai banyak memberi dharma dan jasanya bagi tanah air, dan sewaktu usianya telah semakin lanjut, merekapun tinggal menetap di Tumbang Pajangei. Tumbang Pajangei terletak disebelah utara kota Kuala Kurun ibukota kabupaten Gunung Mas sekarang (Kahayan hulu).

Bersama dengan istrinya masing2, yaitu Tumenggvng Tambun beristri Puteri Karin Likon Lanting, dan Tumenggung Bungai beristri dengan Puteri Bulan Bawin Pulang, disana mereka melanjutkan hidup dan menjalani hari2 tuanya, sampai meninggal.

Dari dwitunggal Tambun-Bungai inilah banyak turunan pahlawan2 suku Dayak kemudia.

Disalin dari buku: ORANG-ORANG TERKEMUKA DALAM SEJARAH KALIMANTAN
Disusun oleh: Anggaraini Antemas
Diterbitkan di: Banjarmasin, 1 Oktober 1971


KESAH BAKEI BASARAMIN DENGAN HAMBATAR 

 ( Cerita Kera dengan Hambatar seekor ulat pohon )

oleh KOMUNITAS MANDAU TALAWANG DAYAK BORNEO pada 11 Maret 2012 pukul 16:08 ·

Huran tege kesah …. , te ije kungan Bakei munduk huang hunjun taruk kayu sambil busik ayu-ayun. Andau kiu-kius …. ,ngambutep ngarenang matae basa paham mangat ie hete.
Ie manduan saramin je dino huang petak….. lingak linguk payah arepae nana-nanar huang baun saramin te.

Te ie hamauch kabuatae : “….. Cer kenar irrrr akur tur…. ( cer….. bakena ih aku toh…), Bulur kur bahalar, jambur kur bular balir …….cer.. dia kanarar ampir kur tur…baakeenarrrrrrrrrrrr…”

“….Puuuuuuttt …” auch ketut mahiau bara penda kanih, huang penda parak ruwut .

Sinde tinai haluli bakei te manyaramin arepae, paya-payah……hanjak tutu gite arepae je dia kalaluen ampi , puna bakena.

“….. cer….. kenar irrrr akur tur……bulur kur bahalar…urur kur bahalar..jambur kur bular balir……..cer….cer….”

Tumbah hindai ….uret hambatar bara penda parak ruwut huang penda upon kayu te.

“ ….Puuuuuutt……”auch ketut….

“ Hau…. Ewer arare jer, ngacipur ngacipur akur ter ? …….karer akar kemerrrr ier…. Akur muhur mur kur dinur ,kur muper akar tusur… kur nyiur akar baur…..”

Haluli tinai bakei te nah menyaramin arepae tuntang manara arepae je bakena.

Mangetut hindai uret hambatar bara petak : “ ……puuuuuuuuttt….”

Kuan bakei ,”… karer akar kemer ier ter… akur muhur barar taruk kayur tur… kur gaur… sampar dinor…..

Muhun ndai bakei te … balalu ie mangakas    manantawus uras kare dawen keang , kare uru penda upon kayu te. Nyamah putar biling ie manggau uret je cara mangetut ie nah.

Kajaria…. ..dinon kea uret te….. kuae: “ tuhhhh ..ie ulue hambatar …..je cara mengetut . Akam keme ikau hambatar … “. Duae uret te balalu ajuke huang rumbak urunge .

Uret te balalu miar tame huang rumbak urunge, palus kahuang kuluke. Puna mameh kea je area bakei. Narai ati… te bakei te mangkariak: “…. Hambatarrr….. balua ikau , pehe kuluku…baluaaaa…. baluaaaaa..”




Te bakei nyangit pehe kuluk, ie mahampas kuluke pire-pire kali akan upon kayu je eka busik nah…………
Awi paham kapehe……. Te ie balalu matei .




Palajaran akan itah :

- Ela lalau murah babusau , bajuhu balecak dengan kare kakena kahalap itah kalunen, basa kare kahalap te uras panengan Hatalla bewei, nduem kahalap kakena uras akan manara Hatalla .

- Amunitah belum basewot , tatau,  tege kare kuasa …te ela itah murah basingi , murah barangai auch kare kutak pander dengan uluh beken je balemu tuntang pehe pambelume je jatun ati kare katau uka malawan itah.

- Keleh itah bajenta bajurah, bahalap dengan eweh bewei, ela dia tau pakat, tuntang ela mintih amun itah belum pumpung uluh are, uka jatun oloh je pehe ateia haranan kare taluh gawin itah.









Sansana huran tuh bara Ibu Edy Musa
( Indu Wima )